Di
dunia dikenal 2 macam riwayat kelahiran polisi di masyarakat. Polisi
Negara, yaitu polisi yang dibentuk oleh sebuah pemerintahan, dan polisi
masyarakat yang dibentuk atas prakarsa dan menghamba pada aspirasi
masyarakat. Kebanyakan riwayat kelahiran Polisi Negara terjadi di
daratan benua Eropa yang memiliki latar belakang pemerintahan
Absolut/Monarki, sehingga ada beberapa pihak yang menyebutnya sebagai
Kepolisian Eropa Kontinental. Penyebutan ini tidak sepenuhnya benar,
karena sebenarnya Eropa Kontinental lebih termaksud pada sebuah system
kepolisian, bukan sejarah kepolisian; meskipun sebuah system kepolisian
memang terbentuk dari sejarah kepolisian tersebut.
Sedangkan
riwayat kelahiran Polisi Masyarakat banyak terjadi di wilayah Inggris
dan bekas jajahannya, kecuali di Negara-negara commonwealth di
benua Asia yang menyesuaikan dengan tujuan awal pembentukan badan
kepolisian dinegara tersebut, yaitu penjajahan. Di Inggris sendiri,
polisi berawal dengan penunjukan Kin Police atau polisi warga. Posisi
ini secara bertahap mengalami peningkatan sesuai dengan perkembangan
masyarakat sampai ke tingkat kota yang organisasi kepolisiannya dipimpin
oleh seorang shireeves, dan kemudian lebih akrab dengan sebutan
sheriff. Sedangkan di Amerika, sheriff atau marshall dibentuk oleh
koloni-koloni, sehingga mereka pun harus bekerja atas kehendak koloni
tersebut.
Di
Indonesia, sepintas yang masih bisa terlihat dalam kehidupan saat ini
adalah semacam polisi masyarakat. Di Jawa misalnya, dikenal posisi
Jagabaya dalam pemerintahan desa tradisional, dan demikian pada
suku-suku lainnya. Namun jika kita kembali ke jaman penjajahan Belanda
maupun Jepang, system yang berlaku adalah Polisi Negara, yang bertujuan
mengamankan kepentingan penjajahan di Indonesia dari serangan “ekstrimis
inlander”, atau pejuang kemerdekaan. Tentu kita tidak bisa mengharap
system kepolisian yang sejati dapat lestari jika melihat begitu lamanya
masa penjajahan berlangsung (bahkan lebih lama dari kerajaan-kerajaan
lama di Indonesia yang menurut data paling lama hanya berlangsung selama
250 tahun). Karena itu, kedua system kepolisian tersebut diatas
diragukan sebagai sejarah sejati kepolisian Indonesia.
Menurut
sumber sejarah, Undang-Undang tertua yang pernah ada dan ditegakkan
oleh sebuah badan dengan kewenangan melakukan upaya paksa terjadi pada
masa Kerajaan Majapahit. Menurut Wik Djatmika, Undang-undang itu bernama
Kutaramanawa yang merupakan gabungan dari peraturan dalam kitab Weda;
Kutarasastra (undang-undang pidana/public) dan Manawasastra
(undang-undang perdata/privat). Penegak Kutaramanawa adalah Prabu
Majapahit, yang didelegasikan kepada pemegang kendali wilayah atau
kepala daerah (Perwakilan Kerajaan, Adipati, demang, dan kuwu/kepala
desa) dan panglima perang bagi para prajurit. Dalam mengambil keputusan,
Prabu Majapahit dibantu Mahapatih dan pemuka agama Kerajaan, serta para
kepala daerah yang bersangkutan. Demikian seterusnya ke bawah, sesuai
dengan bobot kesalahan, tempat kejadian dan domisili pelaku. Sedangkan
bagi prajurit Majapahit yang terbagi ke dalam beberapa kesatuan induk,
maka Temenggung atau Panglima kesatuan itulah yang menjadi hakim bagi
anak buahnya, kecuali mereka melakukan tindakan makar dan kejahatan lain
yang bersifat subversive. Jadi Majapahit mengakui adanya dikotomi
Peradilan Militer dan Peradilan Sipil.
Meskipun
mengakui peradilan Militer, Majapahit menggunakan sumber hukum yang
universal, yaitu kitab Kutaramanawa. Tidak dikenal adanya pembedaan
peraturan antar golongan, antar agama, apalagi pembedaan antara sipil
dan militer. Jikapun ada pembedaan, itu merupakan isi pasal dari
Kutaramanawa. Dan sebagaimana dinyatakan dalam Negarakertagama,
Kutaramanawa merupakan bukti bahwa Majapahit adalah Negara yang
berketuhanan, karena kaidah hukum yang digunakan diambil dari kitab Weda
(agama dinasti Rajasa berkuasa atas Majapahit).
Bagaimana
dengan Bhayangkara? Bhayangkara sebenarnya bukan penegak hukum, apalagi
pelindung dan pelayan masyarakat. Bhayangkara adalah pasukan elit yang
tugasnya mengabdi untuk keselamatan rakyat. Walaupun jumlahnya kecil,
Bhayangkara memiliki nama besar. Prestasinya mengungkap kasus-kasus
makar secara tuntas ke akarnya, menyelamatkan Jayanegara dari
pemberontakan Ra Kuti, dan prestasi gemilang Gajah Mada yang berasal
dari kesatuan Bhayangkara dalam mempersatukan Nusantara, membuat para
perwira Bhayangkara selalu dipercaya menduduki posisi penting dalam
pemerintahan. Pendeknya, nama besar Bhayangkara tidak terletak pada
kemampuan professional kepolisian. Melainkan mengamankan kepentingan
penguasa/Raja.
Lalu
siapa pelaksana kepolisian pada masa Majapahit? Sepertinya belum
tergambar secara jelas karena belum ada pemecahan kewenangan yudikatif
dari eksekutif. Menurut dugaan saya, karena masyarakat yang masih sangat
sederhana dengan tingkat kompleksitas yang rendah, pekerjaan “to
police” dilakukan bersama-sama antara aparat dan warga Negara. Warga
Negara pada waktu-waktu tertentu juga melakukan pengamanan swakarsa, dan
aparat (tentara/prajurit) juga dalam tingkat ancaman tertentu akan
melakukan patroli. Disinilah terjadi pembedaan hakiki antara tugas
pelayanan keamanan masyarakat dengan penyidikan tindak pidana. Di era
Majapahit tugas pelayanan keamanan masyarakat dilakukan secara
bersama-sama, dan memang menjadi tugas bersama. Tugas penyidikan tindak
pidana belum diatur secara khusus, namun ada Bhayangkara yang selalu
berhasil melakukan tugas tersebut. Dengan ketajaman Sandi Yudha (badan
telik sandi/intelijen Bhayangkara), hampir semua permasalahan terungkap
dengan didukung bukti-bukti yang jelas dan kuat, memantapkan keyakinan
Prabu Majapahit dalam mengambil keputusan berdasarkan Kutaramanawa.
Tidak heran jika Polri membayangkan dirinya adalah Bhayangkara Negara
Indonesia, meskipun sebenarnya Bhayangkara bukan polisi yang sebenarnya.
Tetapi
justru karena itulah jelas bahwa kepolisian Indonesia lahir sebagai
wujud pembagian kewenangan negara sebagaimana Trias Politica yang
disampaikan oleh Montesqieue. Polisi Indonesia adalah bentukan Negara,
bukan kehendak warganya. Sebenarnya ini cukup menjadi alasan bahwa tidak
mungkin Polisi Nasional di Indonesia berdiri langsung dibawah presiden.
Dengan beban tugas seperti sekarang ini, Polisi harus berdiri diantara
Rakyat (Legislatif), Lembaga Peradilan (Yudikatif), dan Pemerintahan
(Eksekutif). Penjelasan tentang pendapat saya ini akan saya lanjutkan
pada tulisan saya yang lain.
Dengan demikian Bhayangkara berasal dari bahasa Sansekerta, yang mengandung arti
penjaga, pengawal, pengaman, dan pelindung keselamatan Negara dan
bangsa.